Rumah Urban

Ditulis oleh: Ade Yudirianto 08 Feb 2007

Narasi masa lalu.

Umumnya kenangan masa kecil seorang migran tentang rumah adalah sebuah rumah yang berhalaman luas, tempat para keluarga; ayah dan ibu biasa memelihara ternak dan bercocok tanam dengan kebun-kebun indah di sekitar pekarangan rumah. Gambaran tersebut melekat pada sosok yang dibesarkan pada sebuah desa agraris. Desa yang dalam masa lalu merupakan gambaran masyarakat swadaya dengan keahlian vernakular dalam membangun peradaban desa.

jakarta_commercial_street_2
Photo by crderivative, used under CC license


Namun gambaran tersebut bukanlah potret yang bisa dinikmati pada sebuah kota metropolitan, kota yang berbasiskan ekonomi industri dan masyarakat konsumerisme. Rumah-rumah berhimpitan, masalah sanitasi dan sampah seolah-olah merupakan sahabat karib dari sebuah permukiman padat. Ekspansi besar-besaran penduduk dari desa menuju kota telah membebani kepadatan kota. Kota menarik sejumlah pendatang yang harus rela menempati hunian dengan dua pilihan; berada dipusat kota dengan harga tanah dan rumah yang tinggi atau berada di pinggiran kota dengan konsekuensi bergabung dengan masyarakat lain dalam sebuah mobilitas padat.

Dalam laporan sebuah koran media massa tahun 2005 lalu dipaparkan tentang fenomena masyarakat urban yang menjadikan sarana hiburan, leisure, kafe dan club house sebagai rumah peristirahatan setelah jam kantor usai. Rumah tidak lagi menjadi sebuah persinggahan akhir dari seluruh aktifitas dengan berbagai alasan seperti; jauh, tidak ada yang menunggu dirumah, lalulintas masih padat hingga termasuk menghindari permasalahan rumah tangga yang siap menunggu di rumah. Semua fenomena tersebut berbicara tentang masalah kenyamanan sebuah “rumah kedua” dengan segala bentuk pengertian dan perwujudannya. Persoalan perumahan menjadi sebuah persoalan kompleks dalam fenomena masyarakat urban.

Kehidupan postindustrialis juga membawa permasalahan ekologi, sosial dan lingkungan sehingga Calthorpe menyebutnya the crisis of place [1]. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimanakah konsekuensi akhir dari pemekaran sebuah kota? Apakah ia akan menjadi jaringan jalur transportasi yang kompleks sehingga ruang-ruang privat ( perumahan, permukiman rural) dan ruang public domain hanya sebagai aksesoris yang terus menerus bergeser ke tepi periferi kota? Bisakah fenomena halaman dan pekarangan luas serta sanitasi yang memadai dimiliki sebuah keluarga pada daerah permukiman padat, tanpa harus bermimpi memutar peradaban pada kehidupan rural dimasa lalu?

Narasi masa kini

Pada abad modern, setelah dunia Barat dan Timur bertemu dalam titik yang sulit untuk di identifikasi orisinalitas budayanya, kedudukan rumah mulai bergeser menjadi sebuah pengertian a place to stay bukan lagi home sweet home. Kenyamanan dapat diperoleh dalam tempat selain rumah sehingga ujung akhir sebuah aktifitas tidak harus berakhir pada sebuah rumah yang nyaman. Cafe,pub, club house, leisure center adalah bentuk lain dari home. Jumlah wanita bekerja semakin banyak menjamur pada kota-kota besar sehingga memicu pasangan suami istri enggan untuk memiliki anak. Kalaupun ada anak pada sebuah keluarga pasangan karir, maka TPA/Tempat Penitipan Anak menjadi alternatif yang menjanjikan sebagai pengganti kedudukan orang tua. Rumah pun menjadi sarana persinggahan untuk meeting point guna tidur semata. Dalam hal ini praktis aktifitas sosial dimasa lalu seperti interaksi dengan lingkungan sekitar, tetangga dan perkumpulan paguyuban mulai sirna.

Dengan dominasi kehidupan berpusat pada jam-jam kerja maka konsekuensi rumah sebagai tempat yang nyaman menjadi tereduksi sebagai tempat beristirahat semata. Rumah nyaman hanya menjadi milik beberapa kelompok orang yang berlebih dari segi keuangan dan waktu luang. Faktor efisiensi beaya, waktu dan investasi menjadi dasar pengambilan keputusan seseorang mengambil fasilitas hunian. Hal demikian diperburuk dengan kondisi developer yang membangun perumahan lewat metode efisiensi beaya, waktu singkat dan hasil untung berlipat. Hasil akhirnya adalah kualitas hunian yang berpola rigid kaku, rendah kualitas bangunan, kacau dalam hierarki ruang mikro-makro dan rawan akan kesehatan sanitasi lingkungan.

Banyak pula pertimbangan membeli sebuah lahan hanya sebagai tabungan investasi sehingga tidaklah mengherankan banyak terjadi rumah-rumah kosong dan blank spot pada area pekotaan sehingga menyebabkan area mati dan tidak berfungsi. Jikalau rumah pada masa lalu dibangun untuk ditempati sebuah keluarga yang pasti, maka siapakah keluarga yang akan menempati ratusan kompleks rumah dibangun dengan tipe-tipe tertentu? Apakah analisis pasar makro semata? Proses produksi rumah massal saat kini menyerupai proses produksi industri baju yang disebar pada pasar dengan ukuran standar S, M, L, XL, dengan hiasan style dan corak tertentu tanpa tujuan jelas untuk siapakah baju tersebut di desain. Bila proses desain sudah berbicara tanpa manusia dan lingkungan sekitar, maka ‘aksara tanpa makna’ menjadi sebuah ungkapan yang tepat pada kondisi urban housing saat kini.

Efisiensi & in-efisiensi

Nampak-nampaknya sulit untuk berbicara tentang pola hidup efisien bagi masyarakat konsumerisme, terlebih bagi setting masyarakat Indonesia. Desain-desain hunian banyak yang menawarkan efisiensi dan kepraktisan ala minimalis namun tak jarang pula anggaran belanja dan budaya memborong saat musim diskon membuat isi rumah tumpah ruah. Hal yang unik disaat menyaksikan pola hunian rumah tinggal yang efisien minimalis namun dihuni oleh pengguna yang tidak menganut prinsip efisiensi hidup.

Pada dasarnya prinsip efisien adalah tidak melampaui kebutuhan dan melampaui kemampuan. Dua hal ini menjadi ukuran apakah selama ini pemenuhan kebutuhan hidup termasuk perumahan dan infrastruktur dipenuhi berdasarkan prinsip tersebut. Dalam penataan tata ruang hal demikian nampak pada konteks; ambang batas, daya dukung wilayah, area buffer/penyangga, RTH yang menyiratkan bahwa ruang pun memiliki keterbatasan daya dukung/ daya tampung. Pemusatan aktifitas yang berkosentrasi pada satu wilayah tertentu pastilah akan berakibat “pemberontakan” daya dukung wilayah tersebut. Kemudian muncullah fenomena; banjir, padat berakibat macet, sesak berujung kumuh.

Bukan salah air jika meluap karena air pun memiliki rumah, apa daya rumah milik air pun diambil alih oleh manusia akhirnya air pun berkelana di jalan-jalan mencari tempat yang lain. Bukan salah kaum migran pula jika harus memenuhi ruang kota karena peluang usaha hanya berpusat pada kota, apa yang bisa dilakukan di desa sementara uang hanya berputar-putar di kota besar. Bukankah seharusnya fenomena demikian mulai memancing kesungguhan agar pemerataan pembangunan mulai disebar pada daerah-daerah diluar Jakarta-Jawa. Sampai batas kapankah urbanisasi akan terus menuju ke Jakarta? Bukankah masih banyak propinsi lain yang masih dapat di “Jakarta”kan? Asalkan bukan memindahkan masalah kota Jakarta pada wilayah lain saja....



________________________________________________
by Ade Yudirianto
© Copyright 2008 astudio Indonesia. All rights reserved.

Rumah Urban Share on...

0 comments on Rumah Urban :

Post a Comment and Don't Spam!