Egoisitik rancangan desain dalam sebuah lingkungan.

Artikel ini ditulis oleh Ade Yudirianto.

“Walaupun dirancang bagus bila tidak terawat ternyata hasilnya sama jeleknya dengan bangunan biasa…” gumam seorang mahasiswa arsitektur yang melintasi bangunan rumah tinggal di tepi jalan kota Bandung. Rumah yang dahulunya dirancang oleh arsitek terkenal di indonesia, namun ditinggalkan begitu saja oleh si empunya rumah.


(gambar merupakan ilustrasi yang tidak berhubungan langsung dengan bahasan artikel)

Perawatan, merawat dan melestarikan bukanlah hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Banyak desain-desain yang baru bermunculan namun pasca pembangunan beaya perawatan menjadi kendala sehingga tampilan indah hanya sebuah penyaksian dalam kurun waktu pertama. Jikalau tanpa perawatan, maka selebihnya ia menjadi beban bagi pemilik dan beban bagi lingkungan.

Keberadaan desain secara langsung/tidak langsung pastilah memberi dampak bagi lingkungan tempat ia berdiri, minimal dampak menarik mata bagi orang yang melintas saat menyaksikannya. Hal yang sama dapat disaksikan pula pada kondisi masjid kota Pare Kediri. Masjid yang dibangun sedemikian besar dan megahnya ternyata tak dapat didukung oleh pemasukan infaq jumat dan retribusi parkir untuk beaya perawatan masjid. Akibatnya, sekali lagi perawatan menjadi masalah bagi bangsa yang konon gemar membangun proyek mercusuar ini.

Etika dalam desain

Membaca kualitas lingkungan hidup saat ini seolah masyarakat hendak disodori kenyataan bahwa teknologi dan pembangunan memiliki sisi gelapnya masing-masing. Laju perkembangan pembangunan selalu diiringi pula dengan permasalahan ekologi lingkungan. Peliknya permasalahan lingkungan, bencana di berbagai tempat menjadi santapan harian tanpa ada solusi jitu tentang bagaimana sikap yang harusnya diambil dalam mengelola lingkungan.

Di satu sisi sekelompok masyarakat menyuarakan perbaikan kualitas lingkungan namun di sisi lain komunitas yang merusak lingkungan jumlahnya tak kalah banyak pula. Dalam dunia praktek desain, kota-kota besar menjadi ajang eksplorasi munculnya rancangan-rancangan baru. Namun setelah bencana lingkungan seperti banjir menghantam, rancangan-rancangan tadi seolah tenggelam pula keindahannya.

Kondisi ini menyiratkan bahwa sebuah rancangan mempunyai posisi yang sangat lemah bila tidak ditunjang dengan lingkungan yang mendukung keberadaan desain tersebut. Semua produk desain & arsitektur pastilah menempati sebuah ruang. Bila wadah ruangnya sendiri telah hancur, sebagus apapun desain tersebut tetap saja tidak akan punya nilai-manfaat. Terlebih lagi bila rancangan tersebut memang memiliki pengaruh besar bagi keberadaan kehidupan lingkungan yang akan dihuni (seperti contoh Mall, Superblok, kawasan perumahan, kota mandiri) . Ia tidak hanya akan terpengaruh oleh keberadaan tapak ruang yang ditempati namun akan memberi dampak pengaruh pula bagi lingkungan sekitarnya kelak.

Victor Papanek dalam bukunya The Green Imperative: Natural Design for The Real World mengulas panjang lebar tentang pentingnya etika dan kesadaran penuh bahwa sebuah karya manusia tidak hanya bersifat empirik semata. Ia akan mempengaruhi kehidupan banyak orang dalam satu periode tertentu dan akan menjadi sebuah cerminan dari peradaban di masa ia dilahirkan. Betapa banyak hasil kreasi manusia yang dibuat namun menimbulkan dampak ekologi dan kerusakan bagi lingkungan. Hasil karya tersebut menjadi sebuah icon trendsetter tapi tidak memiliki sifat ramah lingkungan sehingga berakhir menjadi onggokan sampah bagi dunia modern.

Para desainer dan arsitek sudah tidak dapat lagi berfikir tentang bagaimana berkreasi semata, mereka juga dituntut untuk memiliki jiwa welas asih, kepekaan dan sisi spiritual terhadap lingkungan mereka tinggal. Apakah berkreasi hanya untuk eksistensi diri? Berapakah orang yang dapat mengambil manfaatnya? Apakah ini akan memberi manfaat yang berkelanjutan? Apakah ini akan menjadi milik seluruh masyarakat ataukah hanya kalangan tertentu saja? Apakah dampaknya bila ini hadir bagi segala aspek kehidupan di alam ini? Demikian adalah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya muncul pada saat gagasan datang untuk dikembang-lanjutkan. Namun permasalahannya justru pertimbangan tersebut harus terloncati ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa modernisme industrialis menuntut percepatan dalam mewujudkan ide. Seolah tak ada yang menyadari bahwa hal demikian sama dengan memaksa seorang anak tumbuh dewasa tanpa harus menjalani masa kecil.

Hal yang sama diutarakan pula oleh Sayyed Hossein Nasr dalam kutipan makalahnya berjudul The Contemporary Moslem and The Architectural Transformation of the Urban Enviroment of The Islamic World. Ia pernah menyatakan ”Lingkungan luar yang diciptakan manusia untuk dirinya sendiri tak lebih dari satu cerminan keadaan batinnya”. Ketika sebuah desain muncul, ia akan menjadi pendamping hidup dari pemakainya. berarti karakter dan sifat-sifat dari pemakai desain tersebut akan muncul pada kreasi tersebut. Dan dalam kurun waktu tertentu ia akan menjadi identitas dari pemakainya.

Produk tersebut hadir sesuai dengan tujuan awal ia dibuat dan diwarnai lebih lanjut oleh pemakainya. Jikalau ia hadir dengan tujuan yang buruk dan dipakai oleh orang yang berkelakuan buruk pula, maka lengkap sudahlah daya rusaknya terhadap lingkungan ia berada. Desain tersebut adalah saksi kongkret dari apa-apa yang telah menjadi cermin perbuatan si arsitek/desainer dan pemakainya. Mengambil makna dari pernyataan Papanek dan Nasr, seolah kita mesti belajar dari masa lalu tentang masyarakat yang menghasilkan sebuah peradaban dari peralatan sederhana namun memiliki kualitas nilai tinggi. Produk desain masa lalu sekalipun diberi label ”tradisional” sampai sekarang keberadaannya masih dapat disaksikan dan seolah-olah memiliki ikatan emosional yang melekat kuat dengan lingkungan masyarakat setempat. Padahal bila mau merenung dalam, sedikit pula dijumpai kasus-kasus kerusakan ekologi, sampah-sampah teknologi pada jaman masa tradisional tersebut.

Arsitek, ilmu & profesi tunggal?

Profesi arsitek & desainer memang profesi yang sangat lemah bila ia berdiri tunggal, padahal sejatinya, bersinergi dengan lintas profesi dan mengikatkan diri dengan bidang lain adalah hal yang mesti diupayakan agar karya kreasi dapat hadir memberi manfaat bagi banyak orang. Atas kemampuan finansial seorang ownerlah sebuah ide karya dapat berdiri, keberadaan profesi drafter membuat gambar rancangan dapat terbaca oleh kontraktor, tukang dan kuli memiliki andil karena dari tangan merekalah atap,pondasi dan dinding-dinding beton dapat kokoh berdiri. Bahkan sampai material pun juga memiliki peran karena dari sifat-sifat material pulalah desain memiliki wujud bentuk.

Dari level atas hingga level terendah dalam sebuah pekerjaan desain, semuanya adalah hasil kerjasama dari berbagai bidang sesuai posnya masing-masing. Begitupula dalam skala kota, mustahil jika keberadaan sebuah kota bisa hadir hanya karena buah kreasi arsitek kota semata. Campur tangan dari fihak lain pastilah turut mempengaruhi hasil karya yang terbangun nantinya.

Apakah slum area yang nyaris ada di setiap kota metropolitan merupakan hasil rancangan arsitek pula? Dalam publikasi populer hal ini menjadi sebuah pertanyaaan karena relevankah jika seorang arsitek mengklaim sebuah rancangan adalah semata hasil karya miliknya semata? Jikalau sebuah rancangan yang terbangun adalah proses embrio sebuah tubuh manusia yang berangsur-angsur menjadi utuh, sementara kedudukan arsitek merupakan bagian kepala dari seluruh tubuh. Apakah kepala tanpa badan masih dapat dibilang sebuah wujud manusia? Ah… seram juga membayangkan hal ini…
________________________________________________
by Ade Yudirianto
© Copyright 2007 Ade Yudirianto. All rights reserved.

Egoisitik rancangan desain dalam sebuah lingkungan. Share on...

0 comments on Egoisitik rancangan desain dalam sebuah lingkungan. :

Post a Comment and Don't Spam!