Grafitti penunjang atau perusak facade bangunan dan kota?

11 Juni 2007


Facade sebuah bangunan yang akan terlihat kosong tanpa grafitti, dalam hal ini, kreatifitas memberi makna bagi tempat. Haruskah dibelenggu?

Pernahkah Anda memikirkan apa pengaruh adanya tambahan grafik pada facade bangunan? Grafitti contohnya, semakin marak tampilan bangunan-bangunan yang dianggap 'kosong' diisi dengan grafitti. Contohnya di bawah jembatan layang atau di fasilitas publik yang seringkali terasa 'kering'. Perlukah suatu bangunan ditanggapi dengan penambahan grafik? Kadang-kadang, pemilik bangunan yang dinding luarnya dicoret-coret paksa dengan grafitti akan merasa dindingnya dikotori. Logikanya, sebuah bangunan tidak perlu dirasa 'kosong' bila ia memang didesain untuk tampil sebagai tampilan yang lebih mmengedepankan 'kekosongan', misalnya seperti arsitektur minimalis. Minimalisme memang terkesan sangat kosong dan dingin, hampir tanpa gerakan. Namun memang, kadang sesuatu yang terlalu kosong akan mengundang kita untuk mengisinya dengan sesuatu. Misalnya dinding yang kosong biasanya diisi dengan lukisan, pajangan, atau apapun, sekedar agar tidak terkesan kosong.



Facade yang kosong tidak harus dibiarkan kosong, bila dirasa perlu 'diisi'. Atau apakah coretan-coretan liar adalah suatu kesalahan, atau apakah merupakan potensi yang bisa digali lebih lanjut? Sebenarnya menarik untuk memperhatikan fenomena keinginan untuk mengisi ruang yang kosong dengan ungkapan-ungkapan spontan itu.

Ada kecenderungan, bahkan anggapan (yang seringkali direpresi) bahwa fasilitas-fasilitas publik di kota-kota besar memang perlu dibuat lebih menarik dengan warna, karena kesan kekosongan tersebut telah berubah menjadi kebosanan, serta nir-humanisme. Dimana manusia membutuhkan suatu kesan kehidupan, lebih daripada sekedar fungsi semata. Jalan-jalan dibawah jembatan layang yang kering dan tanpa makna, karena tidak secara sengaja diberi makna, hanya sekedar agar ada dan berfungsi.


Kreativitas yang tersalurkan dan tidak liar, grafitti dalam koridor bidang panel sebagai kanvas

Adalah para penggemar grafitti, yang banyak mengisi kekosongan-kekosongan dalam ruang-ruang tampilan bangunan di kota-kota besar. Biasanya, daerah kumuh lebih sering menjadi suatu arena bagi kreativitas liar tersebut. Barangkali, bukan harus dianggap sebagai gangguan semata, namun murni sebagai jembatan untuk menuju karakter lingkungan yang lebih manusiawi, tidak hanya sekedar tembok, tidak hanya kolom, pipa, aspal, trotoar, dan itu-itu saja.


Proses pembuatan sketsa grafitti yang terwadahi


Bagi warga kota, menyaksikan pembuatan grafitti dapat menjadi atraksi yang menarik.

Grafitti memiliki keindahan tersendiri, karena ia hadir dari seni, kebanyakan pelukis grafitti akan mencurahkan isi hati mereka lewat simbol-simbol, kata-kata, bahkan terkesan komikus. Karena ledakan kreativitas, media yang tidak dimaksudkan sebagai ajang seni dapat menjadi ajang seni, dan kehadirannya patut diapresiasi sebagai wujud kreatif dari kelas yang mustinya lebih dihargai dan diarahkan ke hal-hal positif. Keberadaan warna-warna dapat menjadi pengisi kekosongan dalam ruang-ruang publik yang tidak berkepribadian.


Ketidakteraturan dari grafitti liar yang selama ini menjadi momok, bila terwadahi akan menjadi seni dalam keteraturan

Bila dipahami dan diberi kesempatan untuk berkarya dalam wadah yang terencana, para pelukis grafitti dapat menyalurkan kreativitas mereka dalam memberi nuansa kota yang rekreatif, karena apa yang mrekeka kerjakan memberikan nuansa seni bagi kota.



________________________________________________
by Probo Hindarto
© Copyright 2008 astudio Indonesia. All rights reserved.

Grafitti penunjang atau perusak facade bangunan dan kota? Share on...

0 comments on Grafitti penunjang atau perusak facade bangunan dan kota? :

Post a Comment and Don't Spam!