Apakah kota kita sustainable? (Sustainable Architecture - Arsitektur Berkelanjutan 2)

24 Nopember 2007

catatan Probo Hindarto;
Baru-baru ini saya mepresentasikan sebuah utopia atau visi masa depan kota-kota Indonesia bersama Nino (Haris Wibisono), Alex Buechi, Imelda Akmal dan teman-teman SAMM, dalam acara yang disponsori Holcim. Dari sisi environmental sustainability, khususnya menyangkut air dan tanah, memperhatikan lagi rencana visioner seperti yang dilakukan Tony Garnier (dengan Cite Industrielle) atau Le Corbusier (dengan Villa Radieus), Indonesia memerlukan utopia masa depan agar memacu tumbuhnya ide-ide baru untuk kota-kota baru yang lebih baik di masa depan.


Artikel ini bukan isi yang saya presentasikan dalam acara tersebut, melainkan pemikiran yang ada didalam lingkup presentasi saya. Adalah sebuah masa yang cukup 'menggugah' rasa dalam diri saya. Artikel ini memuat foto-foto dari sebagian kota yang mendukung pemikiran ini untuk diketengahkan ke khalayak pembaca.

Terimakasih saya ucapkan pada pak San Soesanto, yang berdiskusi dengan saya untuk mengembangkan wacana ini. Bagi pembaca sekalian, mohon luangkan waktu menulis komentar agar wacana ini dapat berkembang.

Memperhatikan kota, tentunya tidak lepas dari berbagai hal yang berlangsung dalam kota. Dinamisme sosial yang terjadi di kota-kota saat ini patut untuk direnungkan kembali, sebagai langkah menuju masa depan yang lebih baik. Konsep sustainable construction, green architecture, eco architecture dan sebagainya yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini merupakan topik yang menarik dan patut dipelajari dan diaplikasikan dalam berbagai skala oleh para arsitek.

Konsep sustainable construction perlu dikeluarkan dari skala bangunan, sehingga dapat lebih menyentuh masyarakat kebanyakan, karena masyarakat kebanyakan adalah mereka dengan jumlah yang lebih besar daripada para pemilik bangunan yang memiliki dana. Adakah kota kita cukup sustainable bagi semua orang? Ataukah sudah demikian biasa kita menemukan banyak hal yang tidak lagi menjadi perhatian dan pertanyaan bagi kita? Apakah kota-kota baru akan tumbuh dengan cara yang sama seperti kota-kota pendahulunya, dimana banyak kota besar telah memiliki masalah dalam ruang-ruang kotanya akibat kurang adanya perencanaan desain yang matang, serta implementasi yang konsisten.

Selain itu terdapat pemikiran, bahwa penanganan masalah dan perencanaan kota masa depan perlu kita lihat dari sisi dinamisme yang terjadi dalam masyarakat kita, tidak melulu melalui teksbook, apalagi retorika tanpa aksi. Kita perlu menyadari bahwa kota-kota kita tidak dibangun dengan cara yang sama seperti kota-kota yang besar di luar negeri, misalnya Paris, London, New York. Banyak hal yang perlu dipikirkan tidak hanya mencaplok pemikiran luar negeri dan diterapkan untuk konteks bangsa kita. Berbagai latar budaya, peralihan jaman dan kondisi mental masyarakat merupakan hal-hal yang patut dipertimbangkan.

Sanitasi misalnya, sebagai hal yang sangat penting menyangkut hajat hidup orang banyak merupakan hal yang seharusnya ditangani secara konsisten oleh pemerintah, karena demikian termaktub dalam Undang-undang Dasar negara kita. Setidaknya perencanaan yang matang perlu dipelajari kembali dan dalam rentang waktu yang memungkinkan, saat ini dan masa depan, implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan terencana dan berorientasi masa depan.

Dalam mencoba mempelajari berbagai hal tentang sanitasi kota, saya mencoba untuk memperhatikan 'apa yang ada' dalam salah satu kota di Indonesia dan berharap hal-hal ini dapat diperhatikan para perencana kota.


Sebagian kota, dalam pertumbuhan yang kurang terencana, akan menghasilkan daerah-daerah dengan kondisi semacam ini.

Padatnya penduduk dalam satu lingkungan kota, merupakan salah satu hal akibat kurangnya implementasi peraturan tata kota. Hal-hal semacam ini rawan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan peresapan air, pembuangan air dan masalah sanitasi lainnya. Selain itu juga merupakan tempat bertumbuhnya kerawanan sosial.

Dampak kurangnya perencanaan kota
Dampak yang terjadi dalam perkembangan kota selanjutnya, adalah ketidak-sesuaian antara harapan dan kenyataan. Seiring pertumbuhan kota menjadi kota lebih besar akibat dana yang lebih memungkinkan, keharusan ditumbuhkannya berbagai fasilitas baru seperti gedung bertingkat, dukungan kepada kota yang lebih sehat, dan keinginan dari 'kaum berduit' menemukan kota-kota yang lebih sesuai dengan standar mereka menumbuhkan cara-cara penyelesaian yang dipandang dari sisi sosial merupakan hal yang kurang tepat; penggusuran, penindasan kaum terpinggir kota, dan sebagainya.

Dampak ini bukan berarti bahwa kota tidak memihak kaum miskin, namun bahwa kota telah berkembang dalam skala yang tidak dapat diikuti kaum miskin. Ketertinggalan kaum miskin dalam 'mengejar' utopia kaum kaya untuk membangun berbagai fasilitas yang mendukung kepentingan kaum kaya adalah fenomena yang terlihat; justru merupakan hambatan utopia menuju kota yang lebih baik, akibat perencanaan dan implementasi tata kota yang kurang berpihak pada 'keberlanjutan (sustainability) untuk semua'.


Awal dari bibit-bibit kekacauan kota, penggunaan fasilitas kota yang kurang sesuai, akibat kebutuhan dan desakan ekonomi. Di satu sisi, penjual mendapatkan kehidupan dari berjualan, disisi lain, kepentingan masyarakat untuk menggunakan trotoar jadi terganggu.

Memang, harus diakui, kebutuhan ekonomi mengakibatkan banyak orang berbondong-bondong mengambil langkah yang kurang menguntungkan, seperti berjualan atau membangun bangunan di tempat yang tidak seharusnya. Hal ini patut disadari sebagai kondisi buah simalakama; "jualan kepentingan masyarakat mati, tidak jualan anakku mati". Nampaknya, suatu saat di masa depan, sebuah keputusan pahit akibat kurangnya konsistensi implementasi kebijakan tata kota harus terjadi; penggusuran paksa, pemberian uang ganti rugi "lahan yang sebenarnya bukan milik mereka" yang menghabiskan uang rakyat dari hasil pajak.


Sebuah bagian kota dengan permasalahan klise; kebutuhan hidup, keharusan untuk 'sustainable' dalam ekonomi, kurangnya konsistensi implementasi tata kota, telah merusak sebuah bagian kota, sekaligus menjadi wajah keprihatinan yang belum berujung. Lihatlah kerusakan alam yang terjadi; erosi (pengikisan tanah akibat aliran air), pendangkalan sungai, kerawanan banjir, dan hilangnya potensi estetika lingkungan.

Namun melihat bagaimana masyarakat dalam situasi menghimpit hidup dan bertahan hidup, adalah perasaan yang membawa simpati, karena kondisi inilah representasi dari sebagian besar penduduk Indonesia, yang hidup dibawah kemiskinan. Sementara itu, kemewahan terjadi dalam bangunan-bangunan tinggi, yang belum bisa terjamah oleh kaum pinggiran.


Masyarakat dalam kondisi yang kurang menguntungkan, juga memiliki cara-cara khusus untuk hidup dan berkehidupan, dengan membangun kesadaran hidup bersama, yang sebenarnya telah ada dalam filsafat 'gotong-royong' dalam masyarakat Indonesia.

Kesadaran tentang cara-cara hidup yang lebih menguntungkan dalam situasi yang kurang menguntungkan adalah hal yang bisa dikembangkan dalam mencapai sustainability dalam jangka pendek. Masyarakat perlu difasilitasi dan ditumbuhkan keinginannya memiliki kepedulian lingkungan, seperti menanami area sungai dengan tumbuh-tumbukan yang dapat memperkecil erosi dan menghijaukan kota.


Sustainability melalui arsitektur vernakular. Masyarakat kita sebenarnya cukup mengetahui bagaimana dan apa yang dimaksud 'hijau' demi kepentingan dan kenyamanan hidup, dalam contoh foto ini, rumah yang didepannya dipakai menggantung dan menanam berbagai macam tanaman sehingga menyerupai 'tembok tanaman' yang mengurangi panas, disamping itu kehijauannya menyerap sinar ultraviolet dalam proses fotosintesis.


Keinginan membuat 'space' atau ruang yang sustainable secara sosial dan lingkungan (environment and social sustainability); dengan membuat atap seadanya, dan memenuhi perkerasan halaman dengan pot-pot tanaman, lalu memakainya untuk berinteraksi sosial, adalah bentuk dari upaya lebih 'sustainable' secara vernakular, yang sebenarnya ada dan menjadi bagian dari tradisi vernakular (bagian dari ilmu pengetahuan yang tidak tertuliskan, namun ada secara nyata dalam masyarakat)


Entah, dengan caranya sendiri, kehijauan diupayakan hadir dalam situasi yang kurang menguntungkan. Hal-hal seperti ini yang luput dari konsep ilmu pengetahuan textbook.


Kehijauan alam liar, sedikit yang tersisa, perlu diupayakan lagi untuk ditumbuhkan lebih banyak, barangkali dengan memberikan penyuluhan dan sedikit dana untuk bibit dan penumbuhan, bagi masyarakat sekitar, demi alam yang lebih ramah dan hijau.

Bukanlah merupakan hal yang bijak menyalahkan masyarakat yang kurang responsif akan alam, karena bukan mereka tidak mengenal konsep sustainability itu, namun karena kurangnya kesempatan dan dorongan melakukannya. Masyarakat juga bukan merupakan pihak yang saat ini benar-benar menyadari, atau dalam proses bisa membuat perubahan penting, bahwa kondisi mereka merupakan turunan dari proses 'pembangunan' tak berwawasan lingkungan dari para pembangun yang 'memiliki dana namun kurang memiliki kepedulian'.

Hingga kapankah waktu terpecahnya 'utopia kaum bangsawan' dan 'ketertinggalan kaum bawah', yang melanda seluruh kehidupan di negeri ini? Hendaknya konsistensi implementasi tata kota perlu diwujudkan bagi kota-kota baru.

Saya pula, meski berharap kota-kota dapat tumbuh lebih baik, masih berdiri dalam skala terendah dalam kontribusi terhadap kota; dalam skala bangunan. Saya berharap ide-ide baru dapat mulai didengarkan oleh para pengambil keputusan. Disamping itu, tetap dengan keinginan untuk mempromosikan konsep 'hijau' dalam lingkungan binaan.


Dengan manfaat besar... berapakah dana yang dibutuhkan untuk menghijaukan area sekitar sungai. Bayangkan betapa banyak sumbangan yang bisa diberikan bila area ini hijau, bagi kesehatan kota... dan pencegahan global warming!

Galeri

Melihat kembali 'celah-celah' kota kita
Memperhatikan beberapa contoh berikut, kita dapat memetik kesadaran akan banyak hal yang terjadi dalam kota kita.

Kemana air mengalir?


Sedikit sekali dan kecil saluran airnya.


Minus sanitasi, minus penyerapan air


cukupkah?


Kasihan...


Desain dengan perencanaan kurang baik, harus dibongkar dalam beberapa tahun karena tidak memperhatikan tumbuhnya pohon. Betapa berharganya nilai desain yang hanya sederhana!


Ada gorong-gorong dibawah, mengapa ditutup?


Bisakah air mengalir sendiri ke level lebih tinggi dari jalan menuju lubang air?

Sisi sosial kota


secara ekonomi; berkelanjutan (sustainable), namun secara environment; mengganggu pengguna trotoar


buah simalakama dalam jaring-jaring berbagai sistem.


Ibu ini lebih memerlukan konsep sustainability (tidak hanya dalam lingkup bangunan saja)... karena ia berada dipinggir jalan ini tiap hari, terpapar oleh debu dan polusi jalan. Kondisi yang dapat terkurangi, seandainya ada konsep sederhana untuk menyelesaikan itu; seperti pagar tanaman pembatas dari jalan.


Jalan ramai, tidak ada zebra cross, dan orang juga tidak mengerti zebra cross.


Menaik-turunkan penumpang seenaknya di tengah jalan




________________________________________________
by Probo Hindarto
© Copyright 2008 astudio Indonesia. All rights reserved.

Apakah kota kita sustainable? (Sustainable Architecture - Arsitektur Berkelanjutan 2) Share on...

0 comments on Apakah kota kita sustainable? (Sustainable Architecture - Arsitektur Berkelanjutan 2) :

Post a Comment and Don't Spam!