Rangkaian Rangkiang Perlambang Kemakmuran Lumbung dalam Masyarakat Nan Sakato (Minangkabau)

31 Agustus 2007 arnus

Kemakmuran tanah Minang ditandai oleh rangkiang bapereng, deretan lumbung Minang yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri, yang terkait erat dengan ketahanan pangan, kesinambungan kehidupan pertanian, penghormatan terhadap pihak-pihak yang dimuliakan. Jadi rangkiang tidak semata-mata dibangun untuk kepentingan ekonomi, melainkan termuat pula nilai-nilai politik-sosial-budaya. Kian sirnanya rangkiang kini menjadi petunjuk kemakmuran yang beralih makna pada wujud kebendaan lain. Namun apakah transformasi itu disertai nilai-nilainya terdahulu? Masihkah masyarakat Minang hidup dalam azas Tuah Sakato, masihkah mereka hidup tenang-damai karena kecukupan isi ‘lumbung’ dan karena tetangga dan sanak-saudara pasti rela berbagi di saat mereka membutuhkan? Karena demikianlah antara lain yang mereka lakukan ketika rangkiang di depan rumah gadang masih penuh berisi padi.



Ujung atap yang melengkung runcing ini sering diasosiasikan dengan tanduk kerbau.Menurut tambo nama Minangkabau,menunjukkan kemenangan orang Minang pada pertandingan kerbau melawan Majapahit (Sumber: Syamsidar, 1991)

Masyarakat nan sakato, azas persamaan hak
Masyarakat Minang terbagi atas tiga lapisan besar, yakni Orang Babangso/beradat, Orang Inggok mancakam Tabang Manumpu, dan Anak buah. Perbedaan lapisan sosial itu tergantung pada perbedaan kedatangan suatu keluarga ke suatu tempat. Keluarga mula-mula dianggap sebagai orang asal/orang bangsa/orang asa., masuk dalam kelompok pertama. Keluarga yang datang berikutnya dan tidak memiliki ikatan keluarga dengan orang Asa tersebut masuk kelompok kedua. Anak buah adalah kelompok pekerja.


Tepian mandi, tempat mandi untuk umum. Biasanya terdapat sebuah tepian mandi pada sebuah kampung yang dipakai bersama-sama oleh seluruh warga kampung (Sumber: CHCUGM, 2001)


Secara adat sistem pemerintahan Minangkabau dibedakan menjadi dua sistem, yaitu Laras Bodi Caniago dan Laras Koto Piliang. Keduanya berazas Tuah Sakato yaitu pengambilan keputusan secara musyawarah-mufakat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Laras Bodi Caniago mendasarkan setiap keputusan pada kebijaksanaan yang bersumber dari bawah. Sistem ini menjunjung tinggi persamaan hak. Penghulu-penghulunya memiliki perbedaan bidang tugas, tetapi memiliki kesejajaran dalam martabat, hak dan kewajibannya. Hal ini diwujudkan dalam Rumah Gadang dengan lantainya yang rata. Sedangkan Laras Koto Piliang menganut sistem demokrasi titiak dari ateh, yaitu menjalankan semua peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Keputusan diambil oleh Penghulu Pucuak sebagai pucuk pimpinan, tetapi keputusan itu harus disahkan oleh Pucuak Bulek. Didindang ditampi tareh, yaitu pembahasan keputusan tahap berikutnya dilakukan agar keputusan itu dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Dalam Rumah Gadang dan balairung nagari yang menganut kelarasan adat Koto Piliang, lantainya dibuat bertingkat-tingkat. Kehadiran balairung di setiap nagari merupakan wujud fisik ruang masyarakat nan sakato.


Tampak depan Rumah Gadang. Bangunan-bangunan kecil di depannya adalah deretan rangkiang (lumbung). Masing-masing lumbung memiliki fungsi spesifik (Sumber:Depdikbud, 1992)

Dalam lingkungan suku, pemimpinnya disebut Tungku Tigo Sajarangan, terdiri dari Penghulu, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Penghulu adalah pemimpin suku dalam urusan adat. Penghulu dibantu oleh para pembantunya seperti: Malin, Manti dan Dubalang Adat, yang bertugas untuk urusan keagamaan, perantara antara pemimpin dan masyarakat, dan keamanan.Sistem pemerintahan seperti ini hanya terdapat pada nagari. Wilayah di bawah nagari, mulai dari koto, dusun dan taratak dipimpin oleh Tuo yang tunduk pada pemerintahan nagari. Apabila suatu wilayah berkembang menjadi nagari, pemimpin dan rakyatnya akan tetap berhubungan baik dengan nagari asalnya.


Rumah Gadang dalam sebuah kampung disusun berhadap-hadapan sehingga membentuk ruang publik yang digunakan untuk bermain, menjemur hasil pertanian, dan berkumpul (Sumber: CHCUGM, 2001)

Perkembangan pemerintahan di Minang berawal dari pembukaan hutan menjadi sawah-ladang. Fase awal disebut taratak. Taratak merupakan kumpulan rumah di ladang-ladang yang baru dibuka. Biasanya terletak di luar desa tempat asalnya. Jumlah penghuninya sedikit, sehingga tidak perlu ada surau dan rumah gadang (rumah yang dihuni keluarga besar). Taratak yang sudah berkembang dapat meningkat statusnya menjadi dusun. Dusun memiliki surau dan rumah gadang berskala kecil. Biasanya sudah mulai ada rangkiang sebagai tempat menyimpan padi. Apabila dusun dihuni oleh lebih dari dua suku, atau beberapa dusun melebur jadi satu, maka wilayahnya disebut koto. Gabungan beberapa koto menjadi nagari apabila sudah semakin banyak suku atau anggota masyarakatnya. Rumah gadang di tingkat koto dan nagari lebih besar dan lebih banyak gonjongnya dibandingkan rumah di dusun.

Setiap rumah gadang memiliki sebuah lumbung raja, yang menunjukkan keterikatan rakyat dengan pemimpinnya. Ada ikatan kekeluargaan yang kuat pula antar warganya. Salah satu wujudnya adalah kerelaan berbagi di saat membutuhkan. Salah satu rangkiang berisi padi yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan. Ada juga lumbung yang disediakan untuk tamu. Artinya orang Minang menghargai ‘orang asing’ yang datang sebagai tamu. Mereka menyediakan padi sebagai bahan jamuan makan.

Rumah Gadang, Rumah Keluarga Besar

Rumah Gadang hanya ada mulai dari tingkat dusun, meskipun dalam skala lebih kecil dibandingkan rumah gadang di tingkat koto dan nagari. Pertimbangannya adalah jumlah anggota wilayah dan anggota keluarga yang masih sedikit. Rumah Gadang adalah lambang kehadiran suatu kaum dalam suatu nagari, sekaligus merupakan pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan kegiatan upacara.


Aktifitas ibu-ibu berkaitan dengan pengolahan hasil pertanian dilakukan di halaman (Sumber: CHCUGM, 2001)


Pengerjaan sawah-ladang milik keluarga menjadi tanggung-jawab pemimpin keluarga (mamak tungganai). Ia mewarisi gelar yang menetapkan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus memberinya hak dan kewajiban tertentu. Meskipun demikian ia tidak memiliki hak kepemilikan karena hak kepemilikan rumah gadang, sawah, ladang dan harta benda lain ada di tangan istrinya / anak perempuan. Kemungkinan tradisi ini berasal dari kebiasaan para lelaki meninggalkan rumah untuk membuka ladang di tempat lain sehingga selama waktu tertentu jauh dari keluarganya. Namun tradisi ini pula yang seringkali dianggap sebagai pemicu lelaki Minang merantau ke luar daerah.
Laki-laki yang sudah menikah tinggal di rumah gadang keluarga istrinya. Ia bukanlah anggota keluarga di rumah tersebut, tetapi orang semenda. Ia dipandang, dihormati dan diperlakukan sebagaimana tamu.


Rangkiang Kaciak, penjaga kesinambungan kegiatan pertanian (Sumber: Azrial, 1994)


Bentuk dasar rumah Gadang adalah segi empat asimetris mengembang ke atas, seperti perahu. Sangat mungkin ide bentuk dasar rumah Gadang adalah perahu, karena konon mereka berasal dari Indo Cina yang berekspedisi dengan perahu hingga ke Tanah Minang. Penyebaran Rumah Gadang hingga ke Negeri Sembilan Malaysia juga dilakukan melalui laut. Setidaknya hal ini menunjukkan jejak budaya bahari masyarakat Minang.


Rangkiang Sitinjau Lauik,wujud penghargaan orang Minang terhadap tamu (Sumber: Azrial, 1994)


Panjang rumah gadang ditentukan oleh jumlah ruangnya, biasanya berjumlah ganjil: 3, 5, 7, 9. Pada masa lalu ada yang mencapai 17 ruang, tergantung jumlah penghuninya. Pengantin baru diberi tempat terhormat, yaitu kamar pada ujung rumah. Biasanya kamar tersebut lebih besar daripada yang lainnya. Kamar tersebut akan diserahkan pada pengantin baru berikutnya, sedangkan pasangan terdahulu pindah di kamar disebelahnya, sehingga seluruhnya ikut bergeser. Anak laki-laki yang belum menikah tetapi sudah akil-balig tidur di surau.


Rangkiang Si Tangguang Lapa, penyimpan persediaan untuk paceklik (Sumber: Azrial, 1994)


Kekariban orang Minang pada lingkungan alam tak hanya diwujudkan pada bentuk Rumah Gadang (yang sering diasosiasikan dengan pegunungan di Minang), material alami, maupun antisipasinya terhadap kondisi iklim lokal, tetapi juga pada pemilihan jenis-jenis tanaman di kompleks rumah Gadang. Jenis tanaman itu dipilih sesuai bentuk bunga, tajuk, aroma, sifat tanaman, manfaat, dan hubungannya dengan satwa yang dikehendaki masuk di pekarangan. Misalnya melati ditanam di bawah jendela, kemuning di sudut halaman, puding emas untuk pagar bagian dalam, puding perak untuk pagar bagian luar, dan sebagainya.
Rangkiang: Implementasi Kehidupan Bersama Masyarakat Agraris


Rangkiang Sibayau-bayau,penyimpan padi untuk dimakan sehari-hari (Dokumentasi: Kamelia, 2004)


Setiap rumah gadang memiliki rangkiang yang berderet di halaman depan. Nama Rangkiang berasal dari kata ruang hyang yaitu ruang untuk Dewi Sri, dewi padi. Ada tujuh macam Rangkiang sesuai dengan fungsi padinya, yaitu :
· Si miskin pergi menunggu, lumbung untuk berhemat.
· Simajokayo, lumbung persiapan pesta
· Mandah pahlawan (Rangkiang Kaciak), untuk menyimpan padi abuan (benih) dan persediaan dalam urusan pembiayaan pengerjaan sawah musim berikutnya. Rangkiang ini rendah, tidak bergonjong, dan ada kalanya berbentuk bundar.
· Si Tinjau Lauik untuk menjamu tamu dan membeli barang kebutuhan yang tidak dapat diproduksi sendiri. Terdiri dari empat kolom dan sebuah ruang penyimpan padi.
· Si Bayau-bayau / lumbung Tuo Rumah / lumbung pusako, untuk makan sehari-hari. Berdiri di atas enam kolom, rangkiang ini memiliki dua buah ruangan.
· Si Tangguang Lapa, lumbung persiapan paceklik atau untuk orang yang membutuhkan.
· Harimau Paunyi Koto, lumbung raja.

Susunan Rangkiang dilihat dari jalan masuk adalah Si Tinjau Lauik di sebelah kiri, Si Bayau-bayau di tengah, Si Tangguang Lapa sebelah kanan, sedangkan yang lain disela-sela ketiganya.

Bentuk Rangkiang hampir sama dengan rumah Gadang, atapnya bergonjong dengan kolong lebih rendah dari bangunan rumah gadang. Seluruh rangkiang tidak berjendela dan tidak berpintu. Hanya ada bukaan kecil di bagian atas dari salah satu segitiga lotengnya. Dindingnya mengembang ke atas. Terdapat tangga (mabu) untuk menaiki Rangkiang yang dapat di pindah-pindahkan untuk keperluan lain.

Spesifikasi fungsi rangkiang menunjukkan kekayaan masyarakat agraris Minang. Tak hanya melimpah-ruahnya hasil pertanian sehingga dapat dibagi-bagi pada banyak rangkiang, tetapi juga kekayaan hati mereka untuk membagi-baginya pada yang membutuhkan. Sibayau-bayau merupakan lumbung berukuran besar karena padi yang disimpan di dalamnya dalam jumlah banyak, untuk dimakan bersama seluruh anggota keluarga sehari-hari. Di samping itu mereka juga menyediakan padi untuk tamu. Artinya, tamu adalah orang yang harus dimuliakan sehingga tuan rumah merasa wajib menjamu tamu. Sebagian hasil panen dipersembahkan juga untuk raja dan disimpan di lumbung raja. Untuk menjaga kemungkinan buruk tibanya masa paceklik, mereka juga menyisihkan hasil panen demi ketahanan pangan jika saat itu tiba. Untuk kesinambungan pertanian, yang juga berarti kesinambungan kehidupan mereka menyediakan lumbung khusus untuk menyimpan padi sebagai benih. Hal-hal di atas tak akan mungkin terjadi tanpa adanya kasih sayang antar sesama manusia, dan antara manusia dengan alam. Artinya, kasih sayang manusia terhadap alam dalam bentuk kebijaksanaan memperlakukan alam, membuat alam berkepemurahan memberikan hasil buminya. Kasih sayang antara anggota masyarakat mewujud dalam sifat kepemurahan untuk menyisihkan sebagian hasil panen bagi siapa saja yang membutuhkan.

Copyright, teks dan gambar dari/pada:
Tim Arsitektur Nusantara
Kompilator: Kamelia Triningsih; Nunung Nurjanah; Wita Indriani
Editor: Galih W. Pangarsa, Ema Yunita Titisari

***

Lebih jauh tentang Minangkabau (Padang) bisa dilihat melalui Wikipedia di:
http://en.wikipedia.org/wiki/Minangkabau , juga:
http://en.wikipedia.org/wiki/Rumah_gadang

Untuk melihat letak lokasi lewat Google Earth, download file .kmz disini

***

________________________________________________
by Probo Hindarto
© Copyright 2008 astudio Indonesia. All rights reserved.

Rangkaian Rangkiang Perlambang Kemakmuran Lumbung dalam Masyarakat Nan Sakato (Minangkabau) Share on...

0 comments on Rangkaian Rangkiang Perlambang Kemakmuran Lumbung dalam Masyarakat Nan Sakato (Minangkabau) :

Post a Comment and Don't Spam!