Plastisitas Baru

26 Juni 2007

Catatan Probo Hindarto;

Dibawah ini adalah sebuah subyektivitas pribadi dalam memberikan pengetahuan saat open house astudio 'Rumah Riverside'. Barangkali adalah sebuah tugas bagi setiap orang untuk mencoba memahami dunia dengan cara berpikir masing-masing. Artikel ini sangat subyektif, karena ia ditulis dalam kata ganti orang pertama.


artikel:


There's no need to ask direction
If you ever loose your mind
- cake -


Seandainya matahari tidak terbit dari timur dan tenggelam di barat

Saya akan mengatakan bahwa matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur. Hal ini setelah segala prasangka tentang 'barat' dan 'timur' dihapuskan dan direka ulang. Seandainya tidak ada yang disebut barat dan timur, maka tidak ada kesalahan menyebutkannya terbit dari mana saja. Mungkin lebih tepat menyebutkan bumi mengitari matahari (kalaupun memang benar begitu). Hal-hal seperti desain rumah open house ini, masih dalam tingkatan paling relatif.

Apa itu mendesain? Mengapa desain begitu penting? adalah sebuah pertanyaan yang saya cari jawabannya didunia ini. Saya selalu memikirkan kemungkinan desain hadir menjadi suatu kesempatan berinteraksi dan bergerak bersama alam. Manusia memiliki keunikan dimana buatannya menjadi suatu anomali dari alam, karena direncanakan, yang tidak secara spontan hadir seperti alam. Barangkali alam menawarkan keindahan tersendiri yang belum pernah bisa kita imitasi. Manusia mendesain sesuatu yang memiliki nilai terpisah dari alam, suatu tanda tangan bagi sebuah area di muka bumi.

Akar

Saya teringat suatu saat ketika saya begitu terpesona dengan bangunan-bangunan, dikala saya membaca buku-buku ayah saya dimana beliau adalah seorang guru sekolah teknik (STM). Disana saya mendapatkan perasaaan gembira berlebihan yang tidak terungkapkan, tentang kemungkinan manusia meletakkan sebuah simbol keindahan di muka bumi. Terdapat keindahan dalam tata-cara melukiskan garis-garis bangunan, meskipun ia tampil dalam wujud gambaran paling teknis sekalipun. Komposisi, bidang dan garis, muka, ruang dan energinya, berlangsung dalam tingkatan subyektif, mempengaruhi kita merasakan hubungan dengan elemen alam lainnya.

Maka demikianlah saya mulai melihat desain, sebagai suatu perantara keindahan, yang dirasakan, bukan hanya dilihat. Bila menyelami lebih jauh, kita juga menyelami keindahan alam ciptaan Tuhan. Tidak ada yang lebih dari melakukan sesuatu yang disukai, seperti seorang pelukis yang melukis, barangkali untuk memilih sebuah jalan kehidupan selain melukis akan teramat menyusahkan.

Klise

Dari sisi desain, rumah tinggal ini belum dapat mencapai kesempurnaan dari impian imajinasi saya. Klise bukan? Saya pernah mendengar bahwa setiap arsitek yang ber-open house akan menyatakan desain open housenya belum meliputi harapan-harapannya. Ada batas-batas dalam desain yang menentukan bagaimana kita mendesain sesuatu.

Desain, mengapa harus sesuatu yang indah? Bagi saya dengan demikian tidaklah sia-sia sesuatu dikonstruksikan. Tidak sia-sia memindah batuan dari satu tempat ke tempat lain dengan keindahan yang diciptakan.

Plastisitas Baru

Saya ingin membuat sebuah plastisitas baru dalam karya ini (dalam taraf pikir, bukan dalam bentuk), sebuah desain dengan keindahan unik yang dimilikinya, sesuai dengn kealamian potensi lahan. Mengapa saya menyebut plastisitas? Karena saya merasa proses saya agak mirip dengan pencarian keindahan dari plastisitas baru dalam sejarah desain arsitektur modern. Dimana saya mencoba melepaskan drii dari belenggu pakem-pakem keindahan yang pernah ada, dan dengan itu membuka cakrawala baru dalam desain. Ada hal-hal tersebut yang mulai tampak dalam desain ini, namun banyak yang masih terkubur dalam kesadaran saya.

Desain adalah disatu sisi, adalah sebuah kesenangan, kegembiraan dan perayaan dari penciptaan, disisi lain adalah wujud diam dari sebuah idealisme. Neo-plastisitas dalam berarsitektur hadir mengatasi batasan desain. Plastisitas baru itu membuka kesempatan agar dinamisme baru muncul dari material, disamping itu bergerak dalam dunianya sendiri menciptakan jejak yang akan terlihat dalam perjalanan ber-arsitektur selanjutnya.

Dalam mendesain, keunikan desain menentukan originalitas desain, terutama karena kita banyak terimbas oleh publikasi media tentang arsitektur. Karenanya saya selalu mempertanyakan kembali desain dari titik dimana ia tumbuh, baik itu dari kesadaran akan 'kebaruan', yang timbul dari pemikiran, lahan dan potensinya, maupun 'ke-lama-an' yang mengendap dalam naluri mendesain.

Desain adalah puisi keindahan, dalam wujud nyatanya hadir sebagai kenikmatan estetika. Struktur konstruksi, adalah seperti kertas dimana kita menuliskan sebuah puisi. Didalamnya terdapat 'rasa' yang menentukan sebatas ana sebuah puisi bangunan memberikan efeknya bagi kita.

Ketertundaan

Ada yang tertunda dan belum hadir disini, yaitu pemikiran yang telah berubah dalam kurun waktu sekian bulan sejak saya mendesain bangunan rumah ini. Saya mulai mencermati kembali isi puisi yang saya lantunkan, yang ternyata terdapat sisi positif dan negatif. Kita tidak menyukai sisi negatif dari desain bangunan, karenanya selalu akan dicoba diperbaiki kemudian. Kemudian saya menyadari, apalah yang lebih sempurna daripada desain milik Tuhan, dimana alam adalah kesempurnaan tertinggi yang bila diapresiasi, akan menjadikan kita lebih bersyukur, lebih dewasa dan melihat segalanya dari sisi paling proporsional. Manusia, dengan desainnya, tak ubahnya seperti seorang penggubah sesuatu yang sebelumnya telah sempurna, ternyata dalam gubahan itu, ketidaksempurnaan selalu hadir, memperlihatkan sisi humanisme kita yang utama.

Ketidak-sempurnaan

Sebatas mana pula sebuah ketidaksempurnaan dalam desain? Bagi seorang arsitek yang sedang berproses seperti saya, pencarian akan kesempurnaan desain dalam bayangan saya sendiri tentulah berbeda daripada apa yang terpikirkan oleh arsitek lain. Melihat ketidak sempurnaan desain akan memacu desain selajutnya menjadi lebih baik. Karenanya saya tidak memandang ketidak sempurnaan sementara itu sebagai suatu kekurangan, melainkan sebuah modal berharga bagi langkah selanjutnya. Ketidaksempurnaan yang juga hadir dalam wujud nyatanya ketika bangunan berdiri, saya memang memberikan garis batas dalam suatu gubahan, namun saya masih ingin memberikan ruang bagi ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, karena manusia bukanlah mesin yang sangat presisi.

Misteri

Kehidupan masih menyimpan misteri yang besar, dalam setiap cabang seni selalu didapatkan kesan misteri itu, yaitu kedalaman imbas suatu benda hasil reka naluri manusia, dalam diri pengamatnya. Baik itu dalam lukisan, film, komposisi musik, dan tentu saja arsitektur. Saya tidak ingin kehilangan perasaan menemukan misteri yang belum terkuak itu. Dalam arsitektur yang terdesain oleh saya, rongga-rongga ruang itu saya rasakan akan memiliki kehidupan didalamnya. Keceriaan, kebahagiaan, kesedihan, dan semua hal yang menjadi jiwa sebuah rumah. lebih dari itu, saya tidak lagi memandang bangunan sebagai benda mati, ia kemudian hidup karena tertancap diatas bumi. Keberadaannya memperlihatkan sebuah ego, baik dari pemilik ataupun perancang.

Ego itu, yang terlihat dari bagaimana menyikapi suatu ruang lahan berkehidupan dalam dunia, dimana kesan-pesan, kata-kata puisi dilantunkan melalui kesan bangunan. Bisa jadi desain bangunan terkesan ramah, angkuh, rendah diri, bersemangat, muda, formal, berapi-api, dan segala yang dapat terlihat melalui 'rasa' daripada 'pikir'. Karena itu saya tidak pernah mendesain dalam waktu sesingkat 2 - 3 hari seperti ada beberapa arsitek saya kenal melakukan itu. Saya tidak ingin menjadi dangkal.

Anomali

Dalam hal ini, sebuah rumah tidak hanya didefinisikan melalui rancangan, namun 'mendefinisikan' bagaimana seseorang didalamnya hidup. Rumah tidak harus lagi merupakan suatu produk massal yang menganggap semua orang sama, seperti yang terjadi di perumahan-perumahan. Namun rumah menjadi seliar harapan-harapan yang tumbuh dari sanubari pemilik, melalui perantara arsitek.

Bahkan, saya tidak begitu menyukai segala produk hasil industrialisme, yang memang terlihat men-sama-rata-kan segala sesuatu. Saya, juga tidak menyukai cara-cara men-sama-ratakan segala sesuatu, seperti dalam produk-produk massal, karena ada hal-hal yang belum terpikirkan tentang standarisasi semua itu... bisakah mewadahi kebutuhan dan naluri sesungguhnya dari manusia yang terwadahi olehnya.

Banyak orang dikonsumsi (consumed) oleh pola-pola pikir yang ditawarkan penyeragaman ini. Sinetron-sinetron di televisi semuanya seragam, lagu-lagu semuanya seragam, seragam-seragam sekolah semuanya seragam, cara-cara belajar di institusi pendidikan semuanya seragam, arsitektur rumah semuanya seragam, unit-unit apartemen semuanya seragam... seakan itulah sebuah tawaran terbaik. Bagi saya, itu adalah sebuah represi dari kreativitas dan apresiasi seni.

Kita membutuhkan suatu ruang gerak, dimana palet-palet desain kita gunakan menghasilkan rancangan yang segar dan dinamis. Boleh jadi seorang pelukis menggunakan cat yang sama seperti pelukis lain, namun hasil lukisannya tentu saja berbeda. Mungkin kita menggunakan sistem konstruksi dan bahan material yang sama, namun hasil dari desain tentu saja berbeda. Tingkat perbedaan tidak hanya diukur dari seberapa berbeda saja, namun kualitas perseptif yang dirasakan pengamat menjadi pembeda utama dari suatu desain.



________________________________________________
by Probo Hindarto
© Copyright 2008 astudio Indonesia. All rights reserved.

Plastisitas Baru Share on...

0 comments on Plastisitas Baru :

Post a Comment and Don't Spam!